Alkisah Socrates masuk Islam. Kemudian selagi ngabuburit di Indonesia bersama gebetannya, datanglah waktu sholat maghrib. Maka Socrates menyempatkan mampir di sebuah masjid. Sedangkan si pacar menunggu di warung terdekat.
Lalu ia ikut sholat berjamaah. Karena baru muallaf ia berusaha keras agar bisa terlihat tenang seperti orang Islam lainnya. Dari awal hingga akhir, ia praktikkan semua ajaran yang ia pelajari dari guru-guru atau buku-buku mengenai keIslaman. Karena basicnya Socrates seorang filosuf, maka tidak terlalu sulit baginya untuk terus menambah khazanah keilmuan agama barunya tersebut. Apalagi soal rukun Islam yang di dalamnya terdapat perintah sholat lima waktu. Seluruh referensi tentang salah satu kewajiban umat Islam itu terus tergali dan tersimpan dalam benaknya lekat-lekat. Tinggal bagaimana ilmu-ilmu itu dapat disinkronisasi dengan kondisi batin ketika sedang sholat, agar ia dapat mengalami apa yang dinamakan khusyu’, demikian menurut pendapatnya.
Ketika akhir salam dan sholat selesai, segera si filosuf ini membaca zikir yang sesuai dengan apa yang ia pelajari dari hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah. Tetapi tiba-tiba seseorang mencolek bahunya terus menerus. Karena Socrates merasa terganggu, ia torehkan pandangannya kepada si pencolek.
“Ada apa, Pak?” Tanya Socrates.
“Kalau habis sholat, salaman dulu sama yang di sebelah, depan dan belakang.” Jawab orang tersebut setengah berbisik.
“Bukannya kalau di teorinya habis sholat itu zikir ya, pak?” Ujar Socrates setengah berbisik.
“Yeee… Salaman dulu atuh.”
“Salaman bagian dari sholat ya pak?”
“Nggak afdhol nanti kalau nggak salaman.”
“Hah, apa bener, pak?” Setengah kaget cengok dan merasa ritual meraih kekhusyu’an yang susah payah dilakukannya pas sholat tadi gagal total.
“Iya bener, lihat tuh Kyainya saja di depan salaman, masak anda tidak. Anda belajar agama dari Kyai bukan?”
“Iya sih pak.”
“Nah, dimana-mana Kyai tuh habis sholat salaman, makanya kita juga harus begitu.”
“Ooo..” Socrates tertegun dengan ceramah dari seseorang disebelahnya yang ternyata merangkap Ustaz di masjid tersebut.
“Lagipula nanti kalau anda nggak salaman setelah sholat, bisa nggak mendapatkan berkah orang-orang yang sholat.”
“Oh, berkah ya pak, tapi kok gak ada tumpukan karton nasi-nasi.”
“Itu berkat, bukan berkah atuh. Beda lagi.”
“Iya, iya, maaf pak, saya cuma baru tahu aja nih ilmu baru dari bapak, biasanya di buku dan kitab-kitab tentang rukun dan tuntunan sholat Nabi, nggak ada ritual salaman sehabis sholat, tapi baru tahu aja nih.”
“Nah, kan karena anda baru tahu maka amalkan. Mengamalkan amal baik itu kan berpahala, betul nggak?”
“Hmm… Hmmm…” Gumam Socrates seraya mengangguk-angguk meski masih ada beberapa pertanyaan bingung di kepalanya.
“Tapi pak, kalau pas saya sholat di sana, nggak ada salaman habis sholat kaya di sini?” Tanya Socrates.
“Di sana berbeda, masjidnya saja beda, lagipula di sana pengamalan amal sholihnya kurang, jadi nggak mau susah-susah, mau yang gampang dan ringkas saja.”
“Jadi di sana nggak mau ngamalin amal sholih yang kecil-kecil seperti salaman habis sholat, ya pak.”
"Jangan bilang-bilang ya, kalau kamu shalat di masjid dekat kampus yang itu tuh, nanti kamu bisa dibilang sesat kalau sehabis shalat pakai salaman segala."
"Ada juga ya pak yang kaya begitu?"
“Iya. Itu bedanya di sini dan di sana.”
“Memangnya di sana masjid apa, pak?”
“Ada banyak, kalau di dekat poskamling, Masjid Muhammadiyah. Kalau di dekat pasar, Masjid PKS. Kalau di samping lapangan Masjid Persis, kalau yang suka sesat-sesat tadi masjid wahhabi namanya, terus sama yang di sini nih, Masjid NU.”
“Ooo… Begitu. Oya Pak, ngomong-ngomong terima kasih, Pak. Saya mau pergi dulu.”
“Lho, kok buru-buru? Obrolan kita belum selesai lho! Memangnya saudara mau kemana sebenarnya?” Tanya Bapak itu mencegah lawan diskusinya untuk beranjak pergi.
“Maaf Pak, Sepertinya saya salah masuk, padahal tadi saya lagi cari masjid orang Islam, permisi. Punten, Pak.” Ujar Socrates dengan nada sopan sambil ngeloyor pergi setelah permisi.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar